
PENAIKAN utang pemerintah yang telah menembus Rp9.138 triliun atau setara 39,86% terhadap PDB memang masih berada dalam koridor aman menurut Undang-Undang Keuangan Negara. Namun, narasi “aman karena masih di bawah 60%” sering kali hanya menjelaskan aspek formal, bukan substansial.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman saat dihubungi Media Indonesia, Jumat (10/10).
"Sebab, esensi dari pengelolaan utang bukan pada besarnya rasio, melainkan pada sejauh mana utang tersebut mampu menciptakan nilai tambah ekonomi yang berkelanjutan," ujarnya.
Rizal menuturkan, pernyataan pemerintah bahwa kenaikan utang akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi memang terdengar ideal. Namun secara empiris, hal itu bergantung pada arah dan kualitas belanja negara.
"Jika utang lebih banyak diarahkan untuk pembiayaan rutin atau subsidi yang berorientasi jangka pendek, maka efek pengganda terhadap pertumbuhan akan terbatas. Sebaliknya, bila diarahkan pada sektor produktif seperti infrastruktur strategis, hilirisasi industri, atau digitalisasi ekonomi, utang justru bisa menjadi instrumen akselerasi pembangunan," paparnya.
Sementara strategi refinancing yang dijalankan Kemenkeu memang berfungsi menjaga stabilitas pembiayaan. Namun, katanya, langkah itu bersifat jangka pendek dan tak bisa dijadikan solusi struktural.
"Pemerintah tetap harus memperkuat sisi penerimaan, memperbaiki efisiensi belanja, serta memastikan rasio utang tidak hanya 'terkendali' secara angka, tetapi juga 'sehat' secara kualitas. Karena pada akhirnya, kredibilitas fiskal bukan diukur dari seberapa kecil rasio utang terhadap PDB, melainkan dari seberapa besar daya ungkitnya terhadap pertumbuhan dan kesejahteraan nasional," pungkasnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut utang tidak bisa dilihat hanya dari nominalnya, tapi diperbandingkan dengan rasio ekonominya.
“Jadi acuannya bukan nilai absolut nominal aja, tapi dibandingkan dengan rasio ekonominya. Kita aman, masih di bawah 40%, batasnya kan 60%. Negara-negara Eropa di atas 80% kebanyakan, bahkan Jerman mendekati 100%. Amerika 100% lebih, Jepang 250% lebih,” katanya saat pemaparan dalam media gathering Kemenkeu, Jumat (10/10).
Namun, kata Purbaya, pemerintah tetap akan mencoba mengurangi penerbitan utang seoptimal mungkin. Dalam pengertian, kalau harus utang pun, pemakaiannya harus maksimal, jangan ada kebocoran, menciptakan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan semaksimal mungkin.
"Ke depan kita akan coba kontrol belanja pemerintah kita supaya lebih baik sehingga yang tidak perlu saya bisa mulai potong. Bukan berarti saya memotong program pemerintah, tapi saya memotong program-program yang tidak efisien yang hanya memboroskan uang negara yang sebagian tadi diperoleh dari utang. Jadi kita akan menciptakan belanja yang lebih bertanggung jawab ke depan,” katanya.
Sampai kuartal II-2025 atau per akhir Juni 2025, utang pemerintah mencapai Rp9.138,05 triliun. Angka itu setara dengan 39,86% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara jumlah tersebut meningkat dari utang pemerintah pada 2024 sebesar Rp8.813,16 triliun
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto mengatakan peningkatan utang Indonesia sebagai konsekuensi dari APBN yang defisit disebut masih diimbangi ekonomi yang juga meningkat.
“Rasio utang terhadap PDB kita relatif terjaga rendah dan cukup stabil. Meskipun secara nominal utangnya bertambah, PDB kita juga bertambah. Maknanya apa? Utang itu akan dapat diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi,” ujar Suminto dalam media gathering di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10).
Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, katanya, akan menyebabkan penerimaan negara yang lebih tinggi juga. Dengan itu kemampuan negara membayar utang juga akan lebih tinggi.
"Makanya di situ, strategi pengelolaan fiskal kita, perekonomian kita, memang integrated, bagaimana kita dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, didukung oleh belanja negara sebagai katalis dan driver,” jelasnya.
Mengenai utang jatuh tempo yang mencapai Rp800 triliun, menurutnya, yang perlu dilihat tidak saja dari sisi levelnya tapi juga dari sisi mengelola portfolio. Antara lain yang paling penting adalah bagaimana pengelolaan refinancing risk-nya, misalnya dari sisi rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) .
“Ketika average time to maturity kita itu optimal, tidak terlalu pendek, tapi juga tidak terlalu panjang, yang mana average time to maturity dari portfolio utang kita 7,8 tahun, itu memberikan satu level di mana kita dapat mengelola refinancing risk itu dengan baik. Jadi kalau kita berbicara mengenai utang jatuh tempo, konsep yang penting di situ ada dari sisi refinancing risk yang terjaga,” paparnya.
Suminto menyebut dari sisi kewajiban utang Indonesia tidak punya sejarah tidak bisa memenuhi kewajiban. “Kedua, kita memiliki kemampuan yang baik untuk membayar kewajiban utang kita karena level utang kita relatif masih cukup rendah, dalam batas kapasitas kita untuk memenuhi kewajiban utang kita,” pungkasnya. (H-2)