KETUA Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengatakan, musibah yang terjadi di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai puncak gunung es persoalan infrastruktur di pesantren. Menurut dia, hal tersebut perlu segera diperbaiki. "Itu harus diperjuangkan bersama untuk perbaikan-perbaikan lebih lanjut,” ujar Yahya dikutip dari keterangan resmi pada Jumat, 10 Oktober 2025.
Yahya mengatakan, sejumlah tantangan yang dihadapi saat ini bersifat sistemik. Selain musibah di Al-Khoziny, Indonesia juga dihadapkan pada bencana alam seperti gempa dan banjir yang turut berdampak pada pesantren. "Ini semua tantangan besar. Mungkin bisa dilewati kalau kita menggalang persatuan yang kokoh di antara semua,” kata dia.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Yahya menyampaikan apresiasi kepada pemerintah yang menunjukkan perhatian terhadap kondisi tersebut. Dia berharap langkah-langkah penanganan dilakukan secara menyeluruh oleh pesantren di seluruh Indonesia. "Mudah-mudahan nanti secara sistemik masalah ini bisa ditangani bersama pesantren seluruh Indonesia,” tutur Yahya.
Bangunan empat lantai milik ponpes Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, roboh dengan dugaan penyebab kegagalan konstruksi. Insiden tersebut terjadi pada 29 September 2025. Berdasarkan data per 3 Oktober, terdapat 118 korban yang telah ditemukan tim SAR gabungan.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU Hodri Arief mengatakan, musibah yang terjadi di Al-Khoziny perlu disikapi dengan empati, bukan dijadikan alasan untuk menghentikan pembangunan di pesantren. “Itu musibah, tentu tidak mungkin pesantren asal membangun. Jangan kemudian musibah di Al-Khoziny dijadikan alasan untuk menghentikan pembangunan gedung di pesantren,” ujarnya.
Hodri menambahkan, PBNU tengah melakukan upaya dengan menggandeng fakultas teknik sipil dalam pendampingan pembangunan gedung pesantren. Dia menyadari beberapa pesantren memang membangun gedung tidak berdasarkan spesifikasi dari teknik sipil. "Hal itu disebabkan karena mereka memiliki kemampuan yang terbatas,” kata Hodri.
Dia menjelaskan, keterbatasan tersebut sering membuat pembangunan dilakukan secara swadaya tanpa pendampingan teknis yang memadai. Sementara kebutuhan untuk menyediakan sarana pendidikan di pesantren sangat mendesak. "Bisa dibayangkan, pesantren dengan jumlah santri yang membludak, sementara tidak ada ruang kelas. Suasana seperti itu tentu tidak produktif untuk kegiatan belajar di pesantren,” ujar dia.