Mataram (ANTARA) - Di sebuah ruang rapat sederhana di Taliwang, Bupati Sumbawa Barat, Amar Nurmansyah, menatap deretan grafik keuangan yang menurun tajam di layar proyektor.
Tahun 2026 menjadi tahun yang tidak mudah. Dana transfer pusat yang selama ini menopang lebih dari separuh APBD daerahnya berkurang drastis.
Namun, alih-alih larut dalam keluhan, Amar melihat situasi ini sebagai peluang. Ia menilai masa pengetatan fiskal justru bisa menjadi momentum bagi daerah untuk lebih inovatif dalam mengelola keuangan.
Sikap itu tergolong berani, terutama ketika banyak kepala daerah di tempat lain mulai resah menghadapi kondisi serupa. Di Lombok Tengah, pengurangan Transfer ke Daerah (TKD) mencapai Rp383 miliar, atau turun sekitar 17 persen dari tahun sebelumnya.
Di Dompu, pemangkasan mencapai Rp158 miliar dari pos yang sebelumnya menopang berbagai program publik. Sementara secara nasional, alokasi TKD tahun 2026 dipatok hanya Rp650 triliun, angka yang berarti penurunan hampir 30 persen dibandingkan tahun 2025.
Angka-angka itu memang tampak dingin di atas kertas, tapi dampaknya terasa hangat di lapangan. Mulai dari gaji pegawai yang tertunda, proyek jalan yang terhenti, hingga puskesmas yang kekurangan obat.
Meski demikian, di balik tekanan fiskal itu tersimpan peluang bagi daerah untuk menemukan kembali semangat kemandirian, saat pemerintah daerah benar-benar menggali “uang di tanah sendiri.”
Pemerintah pusat menegaskan bahwa kebijakan pengurangan TKD bukanlah pemotongan, melainkan realokasi anggaran. Sebagian dana dialihkan langsung ke masyarakat lewat program prioritas nasional seperti Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Desa Merah Putih yang kini disalurkan melalui kementerian dan lembaga.
Dengan mekanisme baru ini, pemerintah berharap manfaat program tetap dirasakan masyarakat di daerah, meski salurannya berbeda.
Namun bagi provinsi seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), yang 70 persen APBD-nya masih bergantung pada transfer pusat, perubahan mekanisme tersebut menjadi guncangan besar.
Para ekonom menyebut kebijakan ini sebagai ujian bagi kemandirian fiskal daerah, sebuah tantangan yang hanya bisa dijawab dengan kepemimpinan yang visioner dan manajemen yang transparan.
Kementerian Dalam Negeri pun menyadari betapa beratnya situasi ini. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menekankan pentingnya penataan ulang prioritas belanja.
Menurutnya, belanja birokrasi seperti rapat, perjalanan dinas, dan kegiatan seremonial harus dikurangi, agar anggaran bisa difokuskan pada program yang memberikan hasil nyata di masyarakat.
Tito juga mengingatkan agar pengawasan dilakukan sejak tahap perencanaan, bukan setelah masalah muncul. Dengan begitu, setiap rupiah dari dana daerah dapat digunakan secara efisien dan bermakna.
Baca juga: Gubernur Papua Barat Daya: Pengurangan TKD tak hambat pertanian
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.