
SEKELOMPOK mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengangkat falsafah Jawa sebagai landasan untuk transformasi SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) menuju School 5.0.
Langkah ini, kemudian akan menempatkan pendidikan kejuruan yang berwawasan global, namun tetap berakar kuat pada budaya lokal.
Para mahasiswa UNY yang terdiri dari Syifa Aida Khoirunnisa (Prodi Manajemen Pendidikan), Azizah Iswan Ramadhani, Fitriana Luvitasari, Irman Ramadhan (Prodi Pendidikan Geografi), dan Putri Khoirunisa Nurfadila (Prodi Pendidikan Bahasa Jawa).
Mereka menggelar riset berjudul “Harmonisasi Falsafah Hamemayu Hayuning Bawana dan Environmental Social Governance untuk Transformasi SMK menuju School 5.0" di SMK Negeri 2 dan SMK Negeri 3 Kota Yogyakarta. Riset ini menjadi salah satu program PKM-RSH (Program Kreativitas Mahasiswa - Riset Sosial Humaniora) yang didanai oleh Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi tahun 2025.
Ketua Tim Mahasisa, Syifa Aida Khoirunnisa, menjelaskan penelitian ini berawal dari rasa keprihatinan terhadap rendahnya pemahaman masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap nilai-nilai kearifan lokal Jawa. Padahal, katanya, salah satu falsafah Jawa Hamemayu Hayuning Bawana memiliki makna mendalam tentang menjaga keseimbangan dan keindahan dunia—sebuah konsep yang sejalan dengan semangat Environmental Social Governance (ESG).
“SMK di era Society 5.0 harus mampu memadukan kemajuan teknologi dengan tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial. Nilai-nilai budaya lokal dapat menjadi pedoman moral dalam membangun sekolah yang adaptif dan berkelanjutan,” ujarnya.
Melalui pendekatan kualitatif etnografis, tim melakukan wawancara mendalam terhadap kepala sekolah, guru, siswa, serta seorang budayawan Jawa. Selain itu, dilakukan observasi dan dokumentasi untuk menelusuri penerapan nilai-nilai Hamemayu Hayuning Bawana dan prinsip ESG di lingkungan sekolah. Kedua SMK yang menjadi lokasi riset dipilih karena telah berstatus Sekolah Adiwiyata dan memiliki orientasi pada pendidikan berbasis budaya serta pelestarian lingkungan.
Hasil pengamatan awal, ujarnya, menunjukkan jika kedua sekolah telah menerapkan berbagai kegiatan yang mendukung prinsip ESG, seperti pengelolaan sampah, konservasi energi, dan kegiatan sosial masyarakat. Namun, nilai-nilai budaya lokal seperti Hamemayu Hayuning Bawana belum sepenuhnya terintegrasi dalam manajemen sekolah maupun dalam kebijakan pembelajaran.
“Kami ingin membangun peta konseptual yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya Jawa bisa bersinergi dengan ESG untuk mewujudkan School 5.0 yang berwawasan lingkungan, sosial, dan budaya,” tambah Syifa.
Dalam kajian teoretisnya, penelitian ini menggabungkan teori Antropologi Ekologis dari Julian Steward dan teori Perubahan Organisasi dari John Kotter. Pendekatan ini, katanya, digunakan untuk menafsirkan hubungan antara budaya, lingkungan, dan tata kelola lembaga pendidikan. Integrasi teori ini diharapkan dapat membantu sekolah-sekolah kejuruan dalam merancang strategi perubahan menuju lembaga yang berkelanjutan (sustainable institution).
Anggota Tim Azizah Iswan Ramadhani yang bertugas menyusun instrumen riset, mengungkapkan penelitian ini juga ingin menunjukkan budaya bukanlah sesuatu yang ketinggalan zaman. “Nilai-nilai budaya seperti gotong royong, tanggung jawab, dan harmoni justru sangat relevan untuk membentuk karakter siswa di tengah kemajuan teknologi. Budaya adalah fondasi moral dari inovasi,” jelasnya.
Selain memberikan manfaat teoretis bagi pengembangan ilmu Manajemen Pendidikan dan Budaya Jawa, penelitian ini juga memberikan rekomendasi kebijakan bagi Dinas Pendidikan DIY agar memperkuat integrasi nilai-nilai lokal dalam kebijakan pendidikan kejuruan. Fitriana Luvitasari menambahkan, “Kami ingin hasil riset ini tidak hanya berhenti di laporan, tetapi benar-benar menjadi model yang bisa diterapkan di sekolah-sekolah lain.”
Guru Besar Fakultas Bahasa Seni dan Budaya UNY Prof. Sri Harti Widyastuti mengomentari bahwa harmonisasi antara falsafah Hamemayu Hayuning Bawana dengan Environmental Social Governance bisa menjadi dasar transformasi SMK menuju School 5.0 dimana falsafah tersebut dapat menjadi landasan nilai kultur untuk tetap melestarikan alam, hubungan dengan sesama dengan memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk melestarikan dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan.
“Falsafah tersebut menjadi dasar penggunaan teknologi secara bijak dan beretika yang juga selaras dengan environmental social governance” jelasnya.
Riset yang dilaksanakan selama empat bulan ini menghasilkan beberapa luaran, di antaranya peta konseptual harmonisasi ESG dan Hamemayu Hayuning Bawana, artikel ilmiah, serta publikasi edukatif di media sosial. Tim juga berencana mengajukan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) untuk model konseptual yang dikembangkan.
Kegiatan riset ini turut mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 4 (Pendidikan Berkualitas), SDG 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan), dan SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim). Melalui penelitian ini, mahasiswa UNY menunjukkan komitmennya dalam mengintegrasikan ilmu, budaya, dan kepedulian terhadap lingkungan dalam dunia pendidikan.
“Riset ini bukan sekadar proyek akademik, tapi wujud tanggung jawab kami sebagai generasi muda untuk menjaga harmoni antara manusia, alam, dan teknologi,” pungkas Syifa. (H-2)