JARINGAN Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengapresiasi upaya Presiden Prabowo Subianto untuk memajukan sektor pendidikan. Namun, mereka menilai banyak klaim keberhasilan yang disampaikan Presiden dalam pidato terbarunya tidak sejalan dengan fakta di lapangan.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyebut pidato Presiden sarat “overklaim” dan mengabaikan data resmi.
Salah satu klaim yang disorot adalah pernyataan bahwa rakyat kecil kini tidak lagi takut anaknya putus sekolah. Menurut JPPI, data Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah per Agustus 2025 justru menunjukkan jumlah anak tidak sekolah (ATS) meningkat menjadi 3,9 juta, naik 400 ribu anak dibanding Desember 2024.
“Kehadiran sekolah rakyat belum mampu membendung meningkatnya ATS, yang mayoritas karena persoalan biaya,” kata Ubaid dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 15 Agustus 2025.
JPPI juga mengkritik kepala negara yang tidak menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi tentang sekolah gratis bagi semua anak di maktab negeri maupun swasta. Menurut Ubaid, putusan itu adalah solusi konkret untuk mengatasi mahalnya biaya sekolah, namun tidak menjadi prioritas Presiden.
“Akibatnya, banyak anak putus sekolah, dan yang bertahan pun kadang tidak mendapat ijazah karena tidak mampu melunasi biaya,” ujarnya.
Terkait program 100 sekolah rakyat, JPPI menilai klaim keberhasilannya terlalu berlebihan. Dari total 2,9 juta ATS akibat kemiskinan dan pekerja anak, sekolah rakyat hanya menampung sekitar 10 ribu murid, atau 0,33 persen dari kebutuhan. “Masih jauh dari target, apalagi bicara soal pemerataan dan kualitas,” kata Ubaid.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga tak luput dari kritik. Ubaid menyebut klaim bahwa MBG meningkatkan prestasi belajar anak dalam delapan bulan adalah “tidak masuk akal” karena tidak ada data pendukung yang jelas.
Selain itu, optimalisasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dipertanyakan. JPPI menilai anggaran masih bocor untuk pembiayaan sekolah kedinasan dan program MBG, yang seharusnya tidak masuk prioritas sesuai UU Sisdiknas. “Apakah ini optimalisasi atau politisasi anggaran pendidikan?” ujar Ubaid.
JPPI juga mengkritik keberadaan sekolah garuda yang dinilai diskriminatif dan berpotensi menciptakan segregasi pendidikan, mengingat kemiripannya dengan Sekolah Bertaraf Internasional yang pernah dibubarkan MK pada 2013.
“Pendidikan adalah hak seluruh rakyat, bukan komoditas politik untuk diklaim keberhasilannya tanpa bukti,” kata Ubaid. JPPI mendesak Presiden Prabowo untuk mengevaluasi kebijakan, mengacu pada UUD 1945 Pasal 31, dan mengambil langkah nyata mengatasi masalah mendasar pendidikan di Indonesia.