MENTERI Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menetapkan Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib di seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah mulai tahun ajaran 2027/2028. Kebijakan ini merupakan implementasi dari Peta Jalan Pendidikan Nasional 2025–2045 yang menekankan pentingnya penguasaan bahasa asing sebagai kunci daya saing global.
“Bahasa Inggris akan menjadi mata pelajaran wajib mulai tahun ajaran 2027/2028. Ini adalah langkah konkret untuk menyiapkan profil lulusan yang produktif dan kompetitif secara global,” kata Abdul Mu’ti dalam Konferensi Internasional TEFLIN (Teaching English as a Foreign Language) ke-71 di Universitas Brawijaya, Malang pada Kamis, 9 Oktober 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 13 Tahun 2025. Dalam beleid itu, pemerintah menekankan tiga pilar utama transformasi pendidikan: pemerataan akses dan kualitas layanan pendidikan, peningkatan kompetensi guru dan tenaga kependidikan, serta transformasi pembelajaran menuju pendidikan mendalam (deep learning) yang berorientasi masa depan.
Mu’ti mengatakan kemampuan berbahasa asing, khususnya Bahasa Inggris, merupakan instrumen penting untuk membuka akses global di era digital dan kecerdasan buatan. “Teknologi memang membantu proses belajar, tapi tidak dapat menggantikan peran guru,” ujarnya.
Karena itu, peningkatan kapasitas guru menjadi prioritas. Menurut Abdul Mu’ti, kompetensi guru Bahasa Inggris saat ini masih perlu ditingkatkan agar kebijakan baru bisa berjalan efektif. “Mulai tahun depan kita akan menyelenggarakan pelatihan intensif untuk guru Bahasa Inggris,” ujarnya.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, sedang menyiapkan program Peningkatan Kompetensi Guru Sekolah Dasar dalam Mengajar Bahasa Inggris (PKGSD MBI). Program ini menargetkan guru-guru SD mencapai standar kemampuan bahasa Inggris setara CEFR level A2, dengan fasilitator nasional minimal level B1+.
Pelatihan itu akan menggunakan pendekatan pembelajaran mindful, joyful, dan meaningful, serta terintegrasi dalam sistem Learning Management System (LMS) agar mendukung pembelajaran digital berkelanjutan.
Kebijakan penguatan bahasa Inggris ini juga sejalan dengan arah pendidikan berbasis deep learning yang mengintegrasikan kecerdasan buatan dan literasi digital. Dalam skema baru, mata pelajaran coding dan artificial intelligence (AI) akan menjadi pelajaran opsional yang dapat dikolaborasikan dengan Bahasa Inggris.
Dalam forum TEFLIN 2025 yang bertema “Reimagining English Language Education in the Age of AI and Digital Transformation”, Mendikdasmen menekankan pentingnya inklusivitas dan keberagaman budaya dalam pengajaran Bahasa Inggris. Konferensi ini diikuti oleh ratusan pendidik, dosen, dan peneliti dari berbagai negara.
Risma Riansih, guru SMAN 1 Lubuk Linggau yang hadir dalam konferensi, menyambut positif kebijakan baru tersebut. Ia menilai kebijakan wajib Bahasa Inggris akan memperkuat kesiapan siswa menghadapi tantangan global. “AI bisa membantu, tapi tidak akan menggantikan guru. Guru tetap dibutuhkan kapan pun dan di mana pun,” kata Risma.
Panitia penyelenggara TEFLIN 2025 menilai kehadiran Mendikdasmen relevan dengan arah konferensi yang berfokus pada pelatihan calon guru masa depan. “Kami ingin para future teachers siap menghadapi kebijakan baru pengajaran Bahasa Inggris di sekolah dasar dan mampu beradaptasi dengan perkembangan kecerdasan buatan,” ujar perwakilan panitia.