
RUMAH Sakit Mata (RSM) Cicendo Bandung menjadi tuan rumah Peringatan Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day/WSD) 2025 pada Kamis (9/10). Acara ini mengusung tema besar, Deklarasi Komitmen Bersama untuk Meningkatkan Akses Layanan Kesehatan Penglihatan dan Produk Alat Bantu yang Terjangkau dan Berkeadilan Indonesia SPECS 2030.
Hari Penglihatan Sedunia merupakan momentum internasional yang diperingati setiap Kamis pada minggu kedua bulan Oktober, sebagai wujud kepedulian terhadap isu-isu global seputar kesehatan mata, termasuk gangguan penglihatan dan kebutaan.
Direktur Utama RSM Cicendo, dr. Antonia Kartika Indriati menyatakan, dalam menyampaikan bahwa masalah penglihatan dan kebutaan masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Berdasarkan hasil Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) 2014–2016, prevalensi kebutaan di Indonesia masih mencapai 3 persen, angka yang dinilai cukup tinggi di kawasan Asia Tenggara.
“Salah satu penyebab utamanya adalah kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Kondisi ini bisa menyerang semua usia, dan jika terjadi pada anak-anak dapat mengganggu proses belajar serta menurunkan produktivitas di masa depan. Karena itu, pemerintah menyusun Peta Jalan Upaya Kesehatan Penglihatan 2025–2030 sebagai strategi nasional untuk mengatasi masalah ini,” ungkapnya.
Indriati menjelaskan bahwa masih terjadi kesenjangan antara jumlah penderita gangguan penglihatan dan ketersediaan alat bantu seperti kacamata. Melalui Indonesia SPECS 2030, pemerintah berkomitmen memperluas layanan refraksi dan memastikan akses terhadap alat bantu penglihatan yang lebih baik dan terjangkau, melalui kolaborasi lintas sektor yang terkoordinasi.
Ketua Tim Kerja Kesehatan Gigi dan Indra, Prihandriyo Sri Hijranti, menambahkan bahwa tema “Love Your Eyes” yang diangkat tahun ini mengingatkan semua pihak bahwa menjaga kesehatan mata adalah tanggung jawab bersama. Ia menyoroti meningkatnya gangguan penglihatan akibat penggunaan gawai yang berlebihan pada anak-anak dan remaja.
“Data RAAB 2016 menunjukkan bahwa 15,9 hingga 44 persen anak sekolah di Indonesia mengalami gangguan refraksi. Di tengah perkembangan teknologi dan meningkatnya penggunaan perangkat digital, tantangan ini akan semakin besar. Karena itu, pemerintah terus menggencarkan pemeriksaan mata gratis bagi masyarakat dan anak sekolah sejak Februari lalu,” tuturnya.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan sembilan prioritas strategi dalam Peta Jalan Kesehatan Penglihatan 2025–2030, yang melibatkan sinergi antara sektor kesehatan, pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, dan media.
Puncak acara ditandai dengan penandatanganan Deklarasi Komitmen Bersama Indonesia SPECS 2030, yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI, WHO, dan para pemangku kepentingan utama.
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia Tarmizi menyebut deklarasi ini merupakan tonggak penting bagi Indonesia dalam upaya memastikan layanan penglihatan yang berkualitas bagi semua.
“Langkah ini menandai bergabungnya Indonesia dalam inisiatif global WHO SPECS 2030, yang bertujuan memastikan setiap orang yang membutuhkan koreksi penglihatan dapat memperoleh layanan berkualitas, terjangkau, dan berpusat pada masyarakat,” tuturnya.
Ia menjelaskan, secara global dua dari tiga orang yang membutuhkan kacamata belum mendapatkannya, terutama di negara berpenghasilan rendah. Di Indonesia sendiri, diperkirakan ada 15 juta penduduk usia 50 tahun ke atas yang mengalami gangguan penglihatan akibat katarak dan kelainan refraksi, sementara 44 persen anak usia sekolah juga menghadapi masalah serupa.
“Melalui komitmen ini, pemerintah bertekad meningkatkan cakupan layanan refraksi hingga 40 persen pada tahun 2030 sebagai bagian dari Peta Jalan Kesehatan Penglihatan Nasional,” katanya.
Sementara itu, Perwakilan WHO untuk Indonesia, Paranietharan, menilai langkah Indonesia selaras dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menegaskan tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan layanan kesehatan mata yang aman, bermutu, dan merata.
“Melalui pendekatan Community Eye Health atau Perawatan Mata Terpadu yang Berpusat pada Masyarakat, Indonesia menargetkan peningkatan skrining dini, perluasan akses alat bantu penglihatan, serta peningkatan literasi publik tentang pentingnya pemeriksaan mata rutin,” ucapnya.
Paranietharan menambahkan, WHO siap mendukung Indonesia dalam mewujudkan cakupan kesehatan mata universal pada tahun 2030. Langkah strategis yang ditempuh antara lain pendirian Vision Centre di layanan primer, penguatan tenaga kesehatan mata, penerapan teleoftalmologi untuk wilayah terpencil, dan reformasi sistemik melalui keterlibatan multipihak.
“Dengan mengatasi gangguan refraksi secara menyeluruh, Indonesia tidak hanya memperkuat layanan kesehatan mata, tetapi juga mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia nasional. Inisiatif SPECS 2030 ini bisa menjadi model bagi negara lain di kawasan,” tandasnya. (H-2)