
JARINGAN kepemiluan internasional ACE Project menyebut bahwa unsur yang sangat penting dalam menjaga integritas pemilu ialah manajemen pemilu yang baik oleh badan penyelenggara pemilu yang kredibel. Agar kredibel, administrasi pemilu harus imparsial dan memiliki kapasitas kelembagaan untuk menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil.
Dalam konteks itu, Pemilu dan Pilkada serentak 2024 seharusnya menjadi momentum pembelajaran bagi demokrasi Indonesia. Namun, sayangnya masih banyak persoalan terkait dengan kelembagaan penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang memerlukan pembenahan serius dan rekonstruksi pengaturan oleh pembentuk undang-undang.
Sejumlah pelanggaran berat terhadap konstitusi dan peraturan perundang-undangan tidak hanya menimbulkan kegaduhan politik, tetapi juga mencederai asas kedaulatan rakyat dan prinsip pemilu demokratis. KPU acap kali berjalan di luar koridor putusan pengadilan dan prinsip konstitusionalitas sehingga menimbulkan krisis kepercayaan publik yang berat.
ATURAN MENYIMPANG
Sebut saja sikap KPU yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan penataan daerah pemilihan (dapil). Putusan MK No 80/PUU-XX/2022 memberikan otoritas penyusunan dapil pemilu DPR dan DPRD sepenuhnya kepada KPU melalui pengaturan dalam peraturan KPU (PKPU). Selain itu, MK menegaskan pentingnya prinsip proporsionalitas, keadilan, dan keterwakilan dalam pembentukan dapil sehingga dapil pemilu DPR dan DPRD provinsi perlu ditata ulang.
Akan tetapi, PKPU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Dapil dan Alokasi Kursi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tetap mengandung inkonsistensi, bahkan memunculkan dapil-dapil yang justru melanggar pemenuhan prinsip keterwakilan sebagaimana diatur undang-undang dan putusan MK.
KPU juga tidak menyelesaikan masalah kelebihan dan kekurangan keterwakilan (over and under representation) dalam penyusunan dapil DPR. KPU justru sepenuhnya mereplikasi penyusunan dapil DPR yang terdapat dalam Lampiran UU 7/2017 yang telah dibatalkan MK. Akibatnya, keadilan elektoral sebagai roh sistem pemilu proporsional menjadi tergerus dan menjauh dari cita keadilan yang diharapkan.
Selanjutnya, salah satu persoalan paling menonjol terkait dengan penyimpangan pengaturan oleh KPU ialah pelanggaran pencalonan keterwakilan perempuan pada Pemilu DPR dan DPRD 2024. Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan No 24 P/HUM/2023 dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Putusan No 110-PKE-DKPP/IX/2023 serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam Putusan Perkara No 010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023 telah menegaskan kewajiban KPU untuk menjalankan afirmasi 30% keterwakilan perempuan secara konsisten dalam daftar calon anggota DPR dan DPRD.
Namun, melalui PKPU 10/2023, KPU tetap bersikeras menggunakan tafsir matematis yang menyimpangi dan membelokkan maksud afirmasi tersebut. Praktik itu membuat keterwakilan perempuan yang dijamin oleh Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 245 UU 7/2017 tentang Pemilu terdistorsi dan menjadi sekadar angka formalitas alih-alih sebagai instrumen nyata untuk memperluas partisipasi politik perempuan.
Kasus lain adalah aturan mengenai pencalonan mantan terpidana. Putusan MK No 12/PUU-XXI/2023, No 87/PUU-XX/2022, dan sebelumnya No 56/PUU-XVII/2019 telah dengan jelas menegaskan bahwa mantan terpidana yang ingin mencalonkan diri harus memenuhi syarat-syarat ketat, termasuk harus sudah melewati masa jeda lima tahun setelah selesai menjalani seluruh hukuman secara penuh. Namun, KPU melalui PKPU Nomor 10 dan 11 Tahun 2023 justru melonggarkan aturan tersebut.
KPU dalam aturannya membuka kesempatan dan memperbolehkan orang yang berstatus mantan terpidana dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih yang dicabut hak politiknya kurang dari lima tahun oleh pengadilan untuk bisa langsung mencalonkan diri pada pemilu DPR, DPD, dan DPRD tanpa harus melewati masa jeda lima tahun sebagaimana amar putusan MK.
Sikap KPU itu jelas menyimpangi prinsip integritas dan konstitusionalitas pemilu yang diamanatkan konstitusi. Untungnya, PKPU bermasalah tersebut kemudian dibatalkan Mahkamah Agung melalui Putusan No 28 P/HUM/2023 sebagai respon atas uji materiil yang dilakukan kelompok masyarakat sipil peduli demokrasi dan antikorupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan kawan-kawan.
Berikutnya, tak kalah serius, adanya kekeliruan KPU dalam menafsirkan periodisasi masa jabatan kepala daerah. Dimana Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 telah menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan 'masa jabatan yang telah dijalani' tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara. Selanjutnya, Putusan MK No 129/PUU-XXII/2024 memperjelas bahwa yang dimaksud dengan masa jabatan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 adalah masa jabatan yang dijalani secara nyata (riil atau faktual), bukan sekadar dihitung sejak tanggal pelantikan.
Walakin, KPU justru menafsirkan sebaliknya dengan menjadikan pelantikan sebagai titik acuan penghitungan masa jabatan. Kesalahan tafsir tersebut tidak hanya bertentangan dengan pendirian hukum MK, tapi juga menimbulkan ketidakpastian hukum yang berujung pada perintah pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di empat daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2024: Tasikmalaya, Kutai Kartanegara, Bengkulu Selatan, dan Empat Lawang. Konsekuensi serius yang seharusnya bisa dihindari apabila KPU konsisten mengikuti putusan MK dan tidak main-main dengan tafsir konstitusional yang sudah diputuskan.
Kontroversi terbaru yang semakin mengganggu kredibilitas KPU adalah terbitnya Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025. Melalui keputusan itu, KPU menyatakan bahwa dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden, termasuk informasi yang dikecualikan dari akses publik.
Kebijakan tersebut dengan cepat menuai kritik karena bertolak belakang dengan UU Keterbukaan Informasi Publik dan prinsip transparansi pemilu. Setelah gelombang penolakan dari masyarakat sipil, akademisi, dan bahkan anggota DPR, KPU memang membatalkan keputusan itu. Kendati demikian, pembatalan mendadak justru memperkuat kesan bahwa keputusan awal dibuat tanpa dasar hukum yang kuat dan akuntabel.
LIMA ASPEK
Deretan kasus di atas menunjukkan bahwa problem penyelenggara pemilu tidak lagi bersifat insidental, tapi struktural. Untuk itu, perlu dilakukan rekonstruksi mendasar terhadap desain kelembagaan yang mencakup (i) pembenahan mekanisme seleksi, (ii) penataan keserentakan akhir masa jabatan agar penyelenggara pemilu di semua tingkatan sudah selesai direkrut sebelum dimulainya tahapan pemilu serentak nasional 2029 sesuai dengan Putusan MK No 120/PUU-XX/2022. Lalu, (iii) keterpenuhan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% di keanggotaan KPU dan Bawaslu, serta (iv) penguatan pencegahan benturan dan konflik kepentingan dalam kelembagaan penyelenggara pemilu.
Setidaknya ada lima aspek yang perlu dibenahi dari kelembagaan penyelenggara pemilu di Indonesia.
Pertama, metode seleksi anggota KPU dan Bawaslu harus diperbaiki secara fundamental. Sebab, selama ini seleksi yang dilakukan panitia seleksi di tingkat pusat belum sepenuhnya berlangsung terbuka serta berorientasi pada keterpilihan anggota dengan rekam jejak dan kredibilitas kepemiluan yang mumpuni. Proses seleksi sangat rentan menjadi arena kompromi politik dan lahirnya penyelenggara pemilu sebagai proksi kekuatan politik partisan. Karena itu, seleksi penyelenggara pemilu harus didesain ulang menjadi lebih terbuka dan berfokus pada rekam jejak.
Tak kalah penting, seleksi penyelenggara pemilu di daerah juga perlu dilakukan secara terdesentralisasi (berjenjang) sesuai dengan karakter hierarkis dari kelembagaan KPU dan Bawaslu yang terdiri dari struktur nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Mekanisme seleksi yang terdesentralisasi ini memungkinkan publik di tingkat lokal memberikan masukan atas calon-calon yang dijaring tim seleksi secara lebih optimal.
Desentralisasi seleksi diharapkan akan mempersempit ruang negosiasi transaksional secara masif dan top down oleh aktor di tingkat nasional seperti ditengarai terjadi dalam seleksi terpusat yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu selama kurun 2018-2024. Melalui desentralisasi seleksi, KPU/Bawaslu provinsi akan direkrut oleh KPU/Bawaslu, sedangkan KPU/Bawaslu kabupaten/kota akan direkrut oleh KPU/Bawaslu provinsi.
Kedua, perlu ada pembatasan periodisasi masa jabatan penyelenggara pemilu secara tegas dengan menggabungkan penghitungan masa jabatan anggota KPU, Bawaslu, dan DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu se...