Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, Indonesia kembali mengalami deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan (mtm) pada September 2024. Ini melanjutkan tren deflasi yang telah terjadi selama lima bulan berturut-turut. Bahkan, kondisi tersebut mendekati kondisi saat krisis finansial 1999, saat itu Indonesia mengalami deflasi selama tujuh bulan berturut-turut.
Ekonom Senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengungkapkan deflasi merupakan indikasi kuat terjadinya pelemahan daya beli masyarakat.
"Deflasi ini merupakan indikasi kuat terjadinya pelemahan daya beli. Penurunan penjualan semen, penurunan penjualan mobil dan rumah, dan kenaikan kredit macet perbankan merupakan indikasi kuat," kata Wija kepada kumparan, Rabu (2/10).
Lebih lanjut, penurunan nilai tabungan di bank juga menunjukkan kekhawatiran masyarakat akan prospek ekonomi, yang berdampak pada pengurangan belanja. Kondisi ini diperparah dengan data Purchasing Managers' Index (PMI) yang terus berada di bawah angka 50, serta jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus meningkat.
"Produsen pun merasa pesimis dengan prospek bisnisnya. Saat konsumen dan produsen tidak optimis, penurunan ekonomi merupakan konsekuensi yang harus dihadapi," ungkapnya.
Meski begitu, Wija menegaskan bahwa situasi saat ini masih jauh lebih baik dibandingkan krisis 1999. Adapun, pada 1999 Indonesia mengalami deflasi tujuh bulan beruntun usai terjadi krisis 1998.
"Situasi saat ini memang mengkhawatirkan, tetapi masih jauh jika dibandingkan dengan situasi 1999, saat itu rupiah kehilangan nilai, kredit macet perbankan menggunung, terjadi bank rush yang menyebabkan banyak bank collapse, dan ekonomi regional juga sedang bermasalah,” jelasnya.
Di sisi lain, Ekonom Bank Danamon, Hosianna Evalia Situmorang, mengungkapkan deflasi yang terjadi pada September 2024 ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor musiman. Ia menyebut bahwa penurunan kelompok pangan, khususnya volatile food, yang terjadi karena musim panen, merupakan salah satu faktor utama.
"Penyesuaian harga BBM subsidi oleh Pertamina pada September, setelah adanya kenaikan harga pada Agustus, juga memberikan kontribusi deflasi sebesar 0,04 persen," katanya.
Selain itu, Hosianna menambahkan bahwa pengaruh musiman lainnya datang dari biaya pendidikan, yang sudah berlalu setelah puncaknya pada awal tahun ajaran baru pada Juli-September.
"Jadi memang, seasonal di September itu polanya deflasi, nah di September ini ada tambahan faktor deflasi yaitu penurunan harga BBM dan pangan," ungkap dia.
Meski ada indikasi pelemahan daya beli, Hosianna optimis bahwa kinerja konsumsi mulai membaik sejak Juli 2024. Ia mencatat adanya peningkatan pada sektor otomotif dan barang-barang tahan lama (durable goods).
Selain itu, penerimaan pajak penghasilan (PPH) dan pajak pertambahan nilai (PPN) juga menunjukkan tren yang membaik hingga Agustus 2024.