
TERIK matahari bersinar maksimal di tengah perairan Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, siang itu. Hamparan panel surya seperti mendapat pasokan makanan bergizi, tak melepas energi dan terus menerus menyerap panas matahari.
Dari total luas perairan Waduk Cirata sekitar 6.200 hektare atau 62 km², hamparan panel surya itu mengambil 200 hektare di antaranya. Terhitung hanya 3% dari seluruh kawasan waduk.
Dibangun sejak 5 tahun lalu, dan mulai beroperasi pada November 2023, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata itu menghasilkan energi hijau sebesar 192 megawatt peak (MWp) yang mampu menyuplai kebutuhan listrik bagi 50 ribu rumah.
"Jika dihitung kebutuhan listrik nasional, PLTS Terapung Cirata menyuplai 1/1000 di antaranya. Dalam satu tahun, kita memproduksi 300 GWh listrik," ungkap Dimas Kaharudin Indra Rupawan, Presiden Direktur PT Pembangkitan Jawa Bali Masdar Solar Energi (PMSE), perusahaan yang mengelola PLTS Terapung Cirata.
Listrik yang dihasilkan masuk dalam sistem jaringan gardu induk yang ada di Purwakarta dan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Selanjutnya ikut mengisi sistem transmisi kelistrikan Jawa, Madura dan Bali (Jamali).
PLTS Terapung Cirata menjadi pembangkit energi bersih terbesar di Asia Tenggara dan nomor tiga di dunia. PLTS ini mampu mengurangi emisi karbon sebesar 214 ribu ton per tahun.
Proyek Strategis Nasional (PSN) hasil kolaborasi dua negara yakni Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA). Perusahaan yang dilibatkan ialah subholding PLN Nusantara Power dengan Masdar dari UEA. Dana yang dibutuhkan dalam pembangunannya mencapai Rp2,2 triliun.
Saat pembangunannya, PLTS Cirata melibatkan 1.800 pekerja. Mereka berasal dari tiga daerah di sekitar waduk, yakni Purwakarta, Cianjur, dan Bandung Barat.
PLTS Terapung Cirata menjadi pelopor dan yang pertama. Saat ini pengembangan PLTS terapung tengah dilakukan di sejumlah waduk lain, di antaranya di Karangkates, Jawa Timur; Tembesi, Batam; Saguling dan Jatigede, Jawa Barat dan Kedungombo, Jawa Tengah.
"Untuk membangun PLTS Terapung baru itu, mereka datang ke sini. Banyak pekerja yang dulu terlibat dalam pembangunan PLTS Terapung Cirata, kini ikut membangun di PLTS baru," tambah Dimas.
PLTS Terapung Cirata sendiri belum berhenti. Di waduk ini diizinkan untuk membangun hamparan panel solar seluas 20% dari total luas bendungan. Potensi listrik bersih yang dihasilkan bisa mencapai 1,2 gigawatt peak (GWp).
Dimas mengaku sudah ada beberapa investor yang tertarik untuk terlibat di dalamnya. Salah satunya Masdar.
Dia juga menyatakan, PLTS Terapung Cirata menjadi bukti bahwa pembangkit yang dihasilkan dari energi terbarukan tidak harus mahal. Dari lokasi ini, energi listrik dijual dengan harga 5,88 sen per Kwh
"Tarif listrik yang dihasilkannya bisa bersaing dengan energi listrik yang dihasilkan dari pembangkit fosil, khususnya batu bara," jelasnya.
Dimas meyakini, PLTS terapung memiliki banyak keunggulan. Salah satunya, dibangun di atas perairan, yang tidak mungkin dilakukan di daratan karena kebutuhan lahannya yang sangat luas.
Dari Waduk Cirata ini, sebelumnya telah mengalir energi bersih dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Turbin PLTA menghasilkan energi hingga 1.008 MW, menjadi PLTA terbesar di Indonesia. Listrik juga mengalir ke jaringan Jawa-Madura-Bali.
Energi baru terbarukan
Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement sejak 2015. Targetnya pada 2060 nanti, negara ini tidak akan memanfaatkan energi fosil, dengan menjadi Net Zero Emissions (NZE).
Perjanjian Paris dibuat untuk membatasi kenaikan suhu global. Ini upaya memperkuat respons global terhadap ancaman perubahan iklim dan dampaknya.
Perjanjian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi, menyediakan dukungan finansial dan teknologi bagi negara berkembang. Selain itu juga menciptakan kerangka kerja untuk pemantauan dan pelaporan yang transparan terhadap upaya mitigasi emisi.
Sementara itu, di Indonesia target yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto lebih progresif. Dia menginginkan semua pembangkit listrik di Indonesia merupakan pembangkit energi baru terbarukan dalam waktu 10 tahun ke depan.
Sampai tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bauran energi baru terbarukan (EBT) sudah mencapai 16%. Angka ini naik 2% dibandingkan tahun lalu.
Pencapaian itu memang masih di bawah target pemerintah. Sebelumnya, pemerintah berkomtimen meningkatkan bauran energi terbrukan hingg 23% pada 2025 ini.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam rencana usahanya mencatumkan pada periode 2025-2034 akan menambah kapasitas pembangkit listrik sebesar 42,6 gigawatt (GW) yang berasal dari EBT. Pemerintah juga berkomitmen mulai 2026, sebagian besar tambahan kapasitas pembangkit berasal dari energi terbarukan.
Transisi energi ini sangat penting bagi Indonesia untuk menjaga momentum pembangunan ekonomi yang pesat, mempercepat pertumbuhan, membangun kapasitas nasional, menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan menjaga lingkungan.
Suplai energi bersih di Indonesia berasal dari angin, air, matahari, dan panas bumi. Negara ini memiliki potensi EBT yang sangat besar.
Mampukah Indonesia 100% menghasilkan energi bersih untuk semua kegiatan di dalam negerinya? Dimas Kaharudin optimistis hal itu bisa dilakukan.
"Untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional Indonesia bisa membangun PLTS Terapung di lautan. Luasnya cukup sebesar Pulau Bali. Perairan Indonesia sangat luas dan sangat memungkinkan untuk itu," paparnya.
Renewable Energy Certificate
Di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir, industri di Tanah Air juga diharuskan melakukan pembenahan dalam pemakaian energi. Tuntutan datang dari para buyer dan importir di luar negeri, yang mensyaratkan produk yang dihasilkan dengan dukungan energi bersih.
PT PLN pun berupaya mengakomodir kebutuhan industri tersebut. Apalagi, sejumlah konsumen rumah tangga pun mulai ada yang sadar dan mendukung penggunaan energi bersih.
Di Jawa Barat, PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Barat telah meluncurkan layann Renewable Energy Certificate (REC). Listrik-listrik yang dihasilkan dari pembangkit energi terbarukan dipasok ke sejumlah industri yang membutuhkannya.
"Dari tahun ke tahun permintaan REC terus meningkat. Jumlah transaksi kumulatif pelanggan REC periode Januari-September 2025 mencapai 3.398 kali dengan total penjualan 1.224.545 unit REC. Angka ini tumbuh di banding triwulan 3 2024, dengan jumlah transaksi 988 kali dan total penjualan 1.186.979 unit REC," ungkap General Manager PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Jawa Barat, Sugeng Widodo.
Dia menegaskan layanan REC menjadi salah satu instrumen penting bagi seluruh golongan pelanggan untuk berkontribusi dalam transisi menuju energi bersih. Bagi pelanggan industri, instrumen ini mendukung mereka untuk bersaing di tingkat global
PLN UID Jabar mencatat wilayah dengan jumlah transaksi REC terbanyak adalah Bandung (404 transaksi), Depok (316 transaksi), dan Cimahi (275 transaksi).
Sementara itu, penjualan unit REC tertinggi terjadi di Karawang (327.161 unit), Purwakarta (302.730 unit), dan Cikarang (215.783 unit)
Tiga golongan pelanggan terbesar pengguna REC di Jawa Barat berasal dari industri, bisnis, dan rumah tangga
Renewable Energy Certificate (REC) adalah sertifikat yang membuktikan bahwa energi listrik yang digunakan pelanggan berasal dari pembangkit listrik energi terbarukan, seperti tenaga surya, air, atau panas bumi.
Satu unit REC setara dengan satu megawatt-hour (MWh) listrik terbarukan yang dihasilkan dan disalurkan ke jaringan PLN.
Saat ini ada 10 pembangkit PLN yang telah menyuplai listrik hijau untuk pelanggan REC. Ke-10 pembangkit ialah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang, PLTP Ulubelu, PLTP Lahendong, PLTP Ulumbu, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata, PLTA Bakaru, PLTA Orya Genyem, PLTA Saguling, PLTA Mrica dan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) Lambur.